8 Mar 2008

ULUMUL HADITS

PROSES TRANSPORTASI HADITS

BAB I

PENDAHULUAN

Rawi menjadi bagian yang dinilai untuk shahih tidaknya suatu hadits sehingga perowi haruslah memiliki sifat2 khusus semisal: Bukan pendusta, Tidak banyak salahnya, Tidak kurang ketelitiannya, Bukan fasiq, Bukan orang yg banyak keraguan, Bukan ahli bid’ah.

Kalau anda bertanya jadi bagaimana mengetahui sifat perawi-perawi tersebut? jangan khawatir karena kita memiliki ulama-ulama ahli hadits yang sangat jenius dan istiqomah pada masing-masing zaman, mulai dari zaman sahabat hingga zaman mudawwin mereka mencatat rawi2 tersebut termasuk kapan lahir dan wafatnya, serta sifat2nya. Tidak ada perowi yang tidak tercatat dalam kitab-kitab mereka, sehingga perowi yang tidak ada dalam catatan mereka disbut perawi yang majhul, yang akan di dhaifkan kalau meriwayatkan hadits. Perawi-perawi tersebut hendaklah dikenal setidaknya oleh 2 ahli hadits pada zamannya.

Kalau anda tertarik dengan catatan perowi2 tersebut anda bisa cari kitab diantaranya : Ad Durarul Kaminah (Ibn Hajar), Al Badruththoli’ (As Syaukani), Attarikhul khabir (Imam Bukhari) tersebut.

Sanad, menjadi bagian yang dinilai untuk menentukan derajat hadits sehingga kita mengenal berbagai tingkatan hadits semacam: Marfu’, Maushul Mauquf, Mursal, Mudallas, Maqthu’Munqathi’, Mu’dhal, Mudhtharib, Maqlub, Mudraj, Ma’lul, Mu’allal, Mu’tal, Mu’allaq, Maudhlu’ , matruk, Syahid, mutabi’ tersebut.

Mattan suatu hadits menjadi bahan penilaian juga dalam menentukan derajat hadits yang terlihat dalam siyaqul kalam (hadits)… Mengandung kata-kata serampangan, rusak maknanya, buruk maksudnya dan berisi sesuatu yang hina, bertentangan dengan secara tegas dengan hadits-hadits lain yang telah jelas keshahihannya, isi hadits menunjukan kebohongan hadits itu sendiri, materi pembicaraannya sama sekali tidak menyerupai ucapan para Nabi, terlebih lagi ucapan Nabi, matan hadits lebih menyerupai ucapan para dokter atau ahli penyakit tersebut.

Ulama hadits semacam Bukhori, Muslim, Nasa'i, dsb adalah ulama Mudawwin . Note "dhaif" dalam berbagai kategori adalah dilakukan ulama mudawwin berdasarkan catatan-catatan ahli hadits pada masing-masing generasi, sebelum generasi mudawwin soalnya pengertian saya jadinya Dhaif itu berlaku selama " tdk ada hadist lain atau ayat Qur'an yang memperlemah".


BAB I

PEMBAHASAN

A. Proses Transformasi Hadits

Telah dikemukakan fakta yang menunjukkan bahwa seluruh problem menyangkut hadits Nabi terletak pada pertanyaan sentral tentang status Sunnah atau Hadits Nabi yang selama dia valid merupakan sumber utama kedua hukum Islam, dan bahwa kehidupan Nabi merupakan model yang patut diikuti oleh kaum Muslim tanpa batasan waktu dan tempat. Karena alasan ini, para sahabat, bahkan selagi Nabi hidup, mulai menyebarkan pengetahuan Sunnah, dan mereka memang diperintahkan Rasul untuk berbuat demikian. Namun ini tidak berarti bahwa pintu terbuka lebar-lebar bagi siapa saja untuk meriwayatkan hadits sekalipun ia yakin tak membuat kesalahan. Nabi memperingatkan orang dengan berkata, “Jika seseorang berbohong tentang aku dengan sengaja, hendaknya ia yakin bahwa tempatnya di neraka jahanam”[1]. Dalam hadits lain, beliau bersabda ; “Jika seseorang secara sengaja memisahkan kepadaku apa yang tidak aku katakan, hendaknya ia yakin bahwa tempatnya di neraka jahanam”[2].

Peringatan ini menghasilkan dampak luar biasa terhadap sahabat. Banyak sahabat enggan menyampaikan hadits bila sangsi terhadap ingatannya. Dalam hal ini, kita dapat mengambil contoh Anas b. Malik, Zubair bin Al-‘Awwam, Suhaib, Zaid bin Arqam, juga ‘Abdullah bin Umar.

Kita menemukan sahabat tertentu mengawasi sahabat lain, meminta mereka untuk betul-betul yakin dan dapat dengan apa yang mereka sampaikan dari Nabi.

Kritik hadis, dengan maksud menelusuri otentisitas hadis Nabi, dengan mengartikulasi hadis yang sah dan tidak, mempunyai nilai yang sangat urgen dan dibutuhkan terutama karena, pada realitanya, tidak semua hadis secara otentik berasal dari Nabi, terdapat hadis-hadis palsu (mawdlû’) yang dinisbahkan kepada Nabi.

Transformasi hadis tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik di dunia Islam. Hal ini terlihat pada adanya pemalsuan hadis yang kemudian memotivasi kodifikasi hadis itu. Sebagaimana disinyalir jumhur ulama, pemalsuan hadis itu pertama kali terjadi pada masa ‘Alî (23-40 H) ketika terjadi pertentangan politik antara pendukung ‘Ali dan pendukung Mu’awiyah tentang jabatan khilafah, yang menyebabkan umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu : Syî’ah, Khawârij, dan Jumhûr.

Masing-masing golongan; Syî’ah dan Jumhûr itu, untuk menjustifikasi kelompok mereka, membuat hadis palsu itu yang berimpliksi pada munculnya kerusakan dalam tatanan hadis secara umum.

Permasalahan pokok yang muncul dalam penelitian ini berkenaan dengan pengaruh kebijakan politik di dunia Islam terhadap periwayatan hadis-hadis Nabi. Dalam penelitian ini, kajian difokuskan pada relevansi perkembangan politik dan transformasi hadis pada pra dan masa kodifikasi, yang mencakup masa Nabi, masa sahabat, masa Bani Umayah, dan Masa Bani ‘Abbasiyah. Pembatasan ini dilakukan karena pada masa-masa itulah hadis mengalami proses transformasi yang gemilang.

B. Syarat-syarat seorang Perawi

Rawi adalah periwayat hadits sedangkan sanad atau isnad adalah kumpulan dari rawi yang membentuk titian, jembatan, jalan atau sandaran sehingga hadits tersebut sampai kepada kita.

Ulama mudawwin semacam Bukhori, muslim, Nasai dsb akan mengatakan dalam haditsnya ” Hadits ini disampaikan kepada saya melalui sesorang, misalnya si A, kemudian si A berkata hadits ini disampaikan kepada saya oleh si C dan seterusnya sampai misalnya si H, kemudian si H mengatakan bahwa dia mendengar Rosulullah SAW berkata.......tentang hadits tersebut”.

Rawi menjadi bagian yang dinilai untuk shahih tidaknya suatu hadits sehingga perowi haruslah memiliki sifat2 khusus semisal: Bukan pendusta, Tidak banyak salahnya, Tidak kurang ketelitiannya, Bukan fasiq, Bukan orang yg banyak keraguan, Bukan ahli bid’ah

Syarat-syarat yang harus terpenuhi seseorang ketika menyampaikan riwayat hadits sehingga periwatannya dinyatakan sah ialah orang itu harus :

1) Beragama Islam

2) Baligh

3) Berakal

4) Tidak fasiq

5) Tidak terdapat tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru’ah).

6) Mampu menyampaikan hadits yang telah dihafalnya.

7) Sekiranya dia memiliki catatan hadits, maka catatan itu dapat dipercaya.

8) Mengetahui dengan baik apa yang merusakkan maksud hadits yang diriwayatkannya secara makna.

Pada umumnya, ulama ahli hadits membagi tata cara penerimaan riwayat hadits ke dalam delapan macam

1) Al-Sama’ min lajzh al-syaikh (mendengar dari ucapan guru).

2) Al-Qira’ah ‘ala al-syeikh (membaca di hadapan guru)

3) Al-Ijazah (izin)

4) Al-Munawalah (pemberian)

5) Al-Kitabah (tulisan)

6) AL’I’lam (pemberitahuan)

7) Al-Washiyah (pesan)

8) Al-Wijadah


C. Tahammul Wal-ad

Dalam ilmu hadits istilah yang digunakan oleh Ulama Ahli Hadits tentang proses penerimaan dan periwayatan hadits ialah tahammul al-hadits wa al-ada’ ( ) mengambil dan menyampaikan hadits.

Dalam ilmu Mushtholah al Hadits pada bab tahammul wal ada' (menerima dan menyampaikan hadits) terdapat cara periwayatan yang diistilahkan dengan al Wijadah. Yaitu seseorang mendapatkan sebuah hadits atau kitab dengan tulisan seseorang dengan sanadnya [al Baitsul Hatsits:125]. Dari sisi periwayatan, al wijadah termasuk munqothi' [Munqothi: terputus sanadnya. Mursal: terputus dengan hilangnya rawi setelah tabi'in. Mu'allaq: terputus dengan hilangnya rawi dari bawah sanad - pen], mursal [Ulumul hadits:86, Fathul Mughits:3/22] atau mu'allaq, Ibnu ash Sholah mengatakan: "Ini termasuk munqothi' dan mursal…", ar Rasyid al 'Atthor mengatakan: "Al wijadah masuk dalam bab al maqthu' menurut ulama (ahli) periwayatan".[Fathul Mughits:3/22]

Para ahli hadits telah membahas syarat-syarat sahnya seorang rawi menerima dan menyampaikan riwayat hadits. Dalam hal ini, dibedakan antara syarat-syarat rawi hadist ketika menerima dan ketika menyampaikan riwayat hadits. Ulama pada umumnya berpendapat bahwa orang-orang kafir dan anak-anak kecil dinyatakan sah menerima hadits tetapi untuk kegiatan penyampaian hadits, riwayat mereka tidak sah[3].

Ulama ahli hadits berbeda pendapat menilai mengenai kapan disunnahkannya mendengar hadits. Sebagian ulama mengatakan bahwa disunnahkan mendengarkan hadits mulai umur 20 tahun. Pendapat yang tepat dalam hal ini adalah bahwa mendengar hadits tidak disyaratkan usia. Saat seorang telah mampu mendengar dan pandai menulis, maka saat itu juga disunnahkan mendengarkan hadits. Bahkan menurut Al-Qadli ‘Iyadl, anak berumur 15 tahun pun telah sah mendengarkan hadits[4].


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Rawi adalah periwayat hadits sedangkan sanad atau isnad adalah kumpulan dari rawi yang membentuk titian, jembatan, jalan atau sandaran sehingga hadits tersebut sampai kepada kita.

Dalam ilmu hadits istilah yang digunakan oleh Ulama Ahli Hadits tentang proses penerimaan dan periwayatan hadits ialah tahammul al-hadits (Mengambil dan menyampaikan hadist).

Pada umumnya, ulama ahli hadits membagi tata cara penerimaan riwayat hadits ke dalam delapan macam

1) Al-Sama’ min lajzh al-syaikh (mendengar dari ucapan guru).

2) Al-Qira’ah ‘ala al-syeikh (membaca di hadapan guru)

3) Al-Ijazah (izin)

4) Al-Munawalah (pemberian)

5) Al-Kitabah (tulisan)

6) AL’I’lam (pemberitahuan)

7) Al-Washiyah (pesan)

8) Al-Wijadah


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Husnan. 1993. Kajian Hadits Metode Takhrij. Jakarta ; Pustaka Al-Kautsar.

Ali Mustafa Yaqub. 2002. Otentisitas Hadits. Jakarta ; Pustaka Firdaus.

M. M. Azami. 1977. Memahami Ilmu Hadits. Jakarta ; Leutera.





KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya kami kelompok IX dapat menyelesaikan tugas kelompok pata mata kuliah Ulumul Hadits yang berjudul : “Syarat-syarat seorang Perawi dan Proses Transformasi”.

Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini dan tak lupa pula penulis ucapkan banyak terima kasih kepada dosen mata kuliah Ulumul Hadits.

Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima menjadi amal saleh dan diterima oleh Allah swt.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Penulis


DAFTAR PUSTAKA

Kata Pengantar ..........................................................................................

Daftar Isi.....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

A. Proses Transformasi Hadits .....................................................

B. Syarat-syarat Seorang Perawi ..................................................

C. Tahammul Wa al-ada’..............................................................

BAB III PENUTUP

Kesimpulan.....................................................................................

Daftar Pustaka ...........................................................................................



[1] BU, ‘Ilm, 38

[2] Ibid

[3] Al-Suyuthi, Op, Cit., h. 232

[4] Ibid., h. 233

Tidak ada komentar: